Sejarah penciptaan manusia dari berbagai unsur alam menjadikannya terlalu kompleks untuk hanya dimengerti dengan akal yang sangat terbatas. Kandungan materi dan esensi yang demikian kaya akan teknologi maha canggih yang dimilikiNya. Manusia hanya mampu melacak, bukan mencipta. Itupun oleh ijin kesadaran CAHAYA yang akan memberi terang garis-garis kehidupan yang tercipta. Surga dan Neraka adalah sesuatu yang diyakini oleh jiwa-jiwa yang yakin akan kebesaranNya. Itulah HIKMAH dari sebuah makna. Lalu siapakah yang menjadi diri kita?


Pertanyaan ini sebaiknya bukan pertanyaan yang dijawab dengan jawaban. Tetapi kesadaran CAHAYA akan menjadi penuntun jiwa-jiwa suci untuk memperoleh pengertian. Keluhuran budi pekerti para pendahulu akan menjadi cerminan kekayaan esensi diri. Doakanlah mereka yang telah bekerja membentuk dan memeliharanya.

Tidak ada kata "PUTUS" untuk sebuah jalinan kekerabatan yang luhur budi. Seorang ningrat atau habib sekalipun bukanlah mudah begitu saja menerima anugerah pilihan Yang Maha Kuasa. Hal inilah yang tidak disadari para pencela karena mereka tak mendapatkannya. Namun keagungan budi dan kesadaran CAHAYA dari yang "bukan pilihan" adalah pilihan dariNya untuk membentuk "pilihan" yang diharapkanNya menjadi "terpilih" di dunia dengan Rahmat dan PetunjukNya.

Sehingga..

Lengkaplah sudah gelar ningrat dan habib yang "hakiki" menjadi tujuan pemuliaan kesejahteraan dunia. Pemimpin bukan dididik. Pemimpin adalah penunjukan. Dan leluhur adalah cerminan jiwa yang akan mendampingi diri pada lentera hati karena doa-doanya terdahulu kepada keturunannya.

Jadi, pantaskah kita lupa untuk bangga dan mendoakan mereka kembali?

Artikel yang berhubungan:



3 comments:

inop said...

yup.leluhur mang harus dihormati.bukan dijelek jelekin ya ga mas.sukses

Aryanto Yuniawan said...

Setuju dengan mas Inop.. Sukses juga ya bos..

Anonymous said...

Ya, mungkin kerana itu